Perihal Literasi dan Keselamatan Bangsa
Membincangkan
terus menerus urusan literasi bukan berarti kita mengalami involusi di dalam
ihwal keaksaraan (melek huruf). Literasi telah diterima secara luas lima tahun
terakhir ini bukan sekadar urusan kemampuan membaca dan menulis saja. Tetapi
literasi telah dipahamai sebagai segala urusan hidup manusia itu sendiri.
Dengan demikian, kata literasi telah diperkuat, diperkaya, dan diberdayakan
oleh bangsa ini sedemikian kuat dan intensifnya. Setiap detik, setiap waktu
kita lihat kabar pustaka di seluruh penjuruh Indonesia. Anak-anak muda, guru, peserta
didik, sukarelawan, mereka merayakan pengetahuan ke jalanan, membuka
ruang-ruang diskursus pengetahuan secara sangat inklusif. Ada ribuan yang
terlibat menggerakkan buku-buku itu dari berbagai komunitas: pustaka bergerak,
Forum Taman Baca, serikat taman pustaka, rumah baca, dan sebagaianya. Ketika
perpustakaan daerah atau milik pemerintah jam telah tutup, ada ribuan simpul
dan rumpun pustaka dibuka secara mandiri. Tidak sedikit yang melayani setiap
hari, tanpa libur, 24 jam sehari, dan itu semua menjadi kisah bahwa 'semua
orang dapat menjadi penggerak literasi, penghantar pengetahuan.
Situasi
ini diapresiasi oleh Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Dr Muhajjir
Effendy: " Ada gairah yang tumbuh dari bawah. Kesadaran untuk berbagi. Ini
adalah kekuatan karena kalua mengandalkan negara saja untuk gerakan literasi itu sangat
berat." Tepat sekali, bahwa ada gerakan luar biasa dimotori anak-anak
bangsa ini untuk menggembirakan gerakan literasi (filantropi literasi) menjalar
di semua sudut republik. Pemerintah juga terlihat seperti gayung bersambut
dengan memberikan fasilitas free cargo literacy
untuk pengiriman buku gratis setiap tanggal 17 setiap bulan dimulai sejak Mei
2016 silam. Ini adalah perjumpaan penuh makna antara kalangan pegiat di
lapangan dengan negara dan negara hadir dalam urusan literasi kerakyatan adalah
satu terobosan paling penting. Sebelum-sebelumnya, kelompok masyarakat sipil
telah mempelopori model perpustakaan gratis, tanpa birokrasi, dan bersifat pro
aktif seperti gerakan membaca buku bergilir Dauzan Farook di era 60-an sampai
2000-an.
Kebutuhan
manusia di era tekhnologi informasi dan zaman 'dunia tunggang langgang'
(meminjam istilahnya Antony Giddens) ada keterdesakan manusia untuk juga
memiliki kapasitas dalam urusan literasi informasi (melek media) dan melek
wacana di dalam kehidupan yang dipimpin oleh abad pengetahuan hari ini.
Kesungguhan mengurus dan membangun peradaban literasi menjadi penanda bahwa
masyarakat kita sedang bekerja untuk menyongsong era gemilang: masyarakat ilmu
setelah terjerembab dalam kebuntuhan zaman tradisi lisan, zaman gegap gempita
dunia komunikasi digital tanpa fondasi pengetahuan yang kokoh yang mengantarkan
anak-anak bangsa ke pintu gerbang
bencana yaitu suatu fase kehidupan manusia yang dangkal, tak bermakna
dan tumpul di dalam membangun pengetahuan reflektif dan emansipatif.zaman ini
haruslah segera diakhiri dengan mengejar dan memperkuat bangunan tradisi literasi
sebelum semua hilang.
Karenanya,
menyelenggarakan urusan-urusan literasi bagi bangsa ini adalah bekerja untuk
membangun pendalaman pengetahuan baik yang bersifat pemikiran maupun
pengetahuan terapan. Bagaimana itu dapat dimulai, atau itu semua dimulai dari
mana? Inilah pertanyaan yang hendak di diskusikan dalam artikel pendek ini.
Jika
gerakan literasi telah diimani akan mengubah takdir bangsa dan menyelamatkan
rakyatnya maka setidaknya ada empat urusan yang mendesak untuk dijadikan bagian
dari agenda bangsa yaitu;
Pertama,
menciptakan pendidikan etis secara berjamaah yang dapat menumbuh suburkan
idelogi massa (ummat) untuk mencintai dan menghargai pengetahuan. Sebagai
contoh, tafsir progresif saya mengenai surat perintah Iqro' dalam Al Qur-an
mendorong keyakinan bahwa membaca (menjadi literated) adalah manifestasi dari
keimanan sejati seorang muslim. Dengan demikian, setiap khalifah punya
tanggungjawab menggerakkan habitus literasi di dalam dirinya, keluarganya, dan
bangsanya. Membaca bukan hanya kepentingan pragmatis jangka pendek karena
tuntutan hidup, tetapi harus diperkuat dengan teologi iqro' yang aplikatif dan
bernilai tinggi kepada dimensi kehidupan akherat. Di sinilah dibutuhkan
pengorbanan untuk membentuk dan mengorganisir pikiran maju.
Kedua, memperkuat barisan
kelompok dan komunitas penggerak literasi. Harus diakui, bahwa komunitas
literasi telah menjadi endemik atau seperti jamur di negeri ini. Hal ini
menjadikan anggapan Indonesia memiliki minat baca yang rendah semakin memuai
dan semakin kurang relevan. Kehadiran ribuan komunitas literasi yang sebagian
juga dimotori oleh para Guru, Para mahasiswa, dan aktifis sosial lainnya
menjadikan ruang apresiasi lebih terbuka lebar. Orang-orang mulai lebih senang
menjadi bagian dari cahaya di tengah kegelapan, ketimbang menjadi tukang kutuk
keadaan. Anak-anak muda lebih merasa keren menjadi bagian dari solusi ketimbang
terus menerus menganggap dan mencari pihak lain yang paling bersalah.
Ketiga,
pilar yang tidak kalah penting adalah menggiatkan dan memperkuat filantropi
literasi (filanterasi) dimana gerakan wakaf buku, mendonasikan buku,
menyumbangkan apa saja yang begruna untuk gerakan literasi sebagai gairah baru
di masyarakat. Telah banyak komunitas donatur dana atau dermawan buku,
keterlibatan lembaga zakat akhir-akhir ini yang melibatkan diri untuk menjadi
bagian dari penggerak buku dan pembangunan infrastruktur literasi. Dunia
penerbit juga tidak sedikit yang tergerak untuk mengambil porsi peran untuk
membumikan pengetahuan. Salah satu tantangan besarnya adalah bagaimana
menghadirkan buku berkualitas ke seluruh penjuru tanah air. Dari dunia
perguruan tinggi, kementerian dan juga perusahaan relatif masih kurang support
dalam urusan ini. Program Kuliah Kerja Nyata bertemakan gerakan literasi
pelan-pelan makin tumbuh di beberapa lokasi.
Ke empat,
membangun sinergisitas antar kelompok penggerak literasi. Ada kekuatan besar
yang dapat difasilitasi oleh tujuan yang sama. Pemerintah dapat hadir dan
mendorong gerakan kebudayaan literasi ini mengalami akselerasi secepatnya
karena kita tahu ada tantangan besar terkait daya saing bangsa, ada
ketertinggalan di bidang kapasitas menelola sumber daya alam, dan seterusnya.
Populasi penduduk masih sangat timpang dengan ketersediaan buku yang ada di
Indonesia dan ini benar-benar harus dicarikan jalan keluarnya secara politik.
Kita butuh politik etis untuk penguatan literasi.
Kepala
Perpustakaan Nasional, Syarif Bando, pernah menyampaikan bahwa di Indonesia,
satu buku diantri oleh lima belas ribu orang. Bagaimana ini harus diatasi?
Politik etis itu harus berani secara radikal menggulirkan kebijakan: bahwa
subsidi atau anggaran untuk pembangunan literasi tidak kalah penting di banding
pembangunan infrastruktur atau belanja militer. Biar bagaimanapun,
penyelenggaraan urusan literasi adalah tugas semua orang, juga kewajiban
nasional negara sehingga perlu upaya menggelorakan dan mendayagunakan kekuatan
negara untuk mewujudkan ambisi sebagai bangsa yang dipimpin pengetahuan yang
memadai dan karakter yang kuat di dalam kehidupannya.
Sebagai
penutup, kerja literasi adalah kerja sepanjang hidup untuk memperbaiki keadaan
baik alam pikirnya, alam bathin, dan alam penghidupan manusia. Gerakan ini
menuntut banyak pegiatnya untuk secara tulus menjadi relawan seumur hidup di
dalam pengabdiannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan urusan
literasi adalah pekerjaan radikal untuk transformasi sosial. Pekerjaan literasi
tidak pernah hanya urusan buku dan rak buku saja akan tetapi gerakan literasi
haruslah menjadi gerakan semesta, melibatkan sebesar-besarnya energi bangsa
karena ini semua jelas arah tembaknya: menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran
total. Tanpa itu semua, pekerjaan literasi akan sulit untuk menjemput takdirnya
sebagai bangsa yang berdaulat, adil, sejahtera.
Semoga
bermanfaat tulisan ini dan kepada pegiat literasi se dunia, bersatulah untuk
bekerja keras menjadikan bangsa ini kuat dan bermartabat!
Penulis :
David
Efendi
Ketua
Koornas Serikat Taman Pustaka Muhammadiyah PP Muhammadiyah
Perihal Literasi dan Keselamatan Bangsa
Reviewed by MAJALAH FAMUBA MUTU
on
Februari 27, 2018
Rating:

Post a Comment